CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 26 Juni 2012

Mengapa Si Kerudung Biru


Diriku sebelum masuk MAN 1
Tak kenal maka tak sayang, begitu kata pepatah. Karena judul blog baruku ini Si Kerudung Biru, perlulah kiranya aku menyampaikan alasanku.. Mengapa begitu? Banyak makna, banyak arti, banyak kenangan, bahkan ada khayalanku yang melambung tinggi, terlampau tinggi bahkan, tentang si Kerudung Biru ini. Mau tahu? Begini ceritanya..

Kerudung yang kumiliki pertama kalinya selain seragam sekolahku yang selalu berwarna putih, ya warna biru itu. Yah, selalu biru memang, sampai beberapa waktu lamanya kalau tidak biru ya putih dari seragam sekolahku itu. Mungkin orang lain mengira aku nggak pernah ganti kerudung atau nggak punya yang lainnya, padahal aku memang cuma punya dua warna itu.

Waktu itu, baru pertama kalinya aku merasakan betapa nikmatnya pakai kerudung. Awal-awal kelas 1 aku sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta I, merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan sekaligus menyedihkan bagiku. Sebelumnya, aku bangga banget dengan mahkota wanita yang kupunya saat itu. Panjang, hitam, lebat, dan selalu kurawat dengan baik. Hampir setiap pagi sebelum sarapan dan siap-siap pergi ke sekolah, dengan riang aku selalu menyisir rambutku, mengepangnya, atau mengucirnya dengan rapi dan tak lupa kuhiasi dengan pita Jepang cantik sekali.

Untuk rambutku yang panjang dan indah ini selalu kusediakan koleksi pita yang banyak dan berwarna warni. Kukeramas dua hari sekali, kupotong rapi poniku setiap kali mulai menutupi alis ini, dan selalu kusisir setiap kali bangun tidur dan sebelum tidur. Kulakukan semuanya itu sebagai bukti penghargaanku pada mahkota wanita yang katanya sang rambut ini. Namun, begitu aku masuk bangku MAN Yogyakarta I membuat semua kebiasaanku itu hilang, berubah, bahkan sama sekali tak ada.

Bagaimana tidak? Di awal sekolah itu, aku diplonco habis-habisan, di peringatkan, disadarkan, bahwa mahkota indah yang kumiliki ini, harus ditutup rapat-rapat, agar tak seorangpun dapat melihat, kecuali nanti kalau sudah punya suami. Dan hanya kepada sang suami dan muhrimnyalah aku diperbolehkan mengurai si mahkota ini. Sungguh, aku baru tahu itu, aku pun baru menyadari itu semua telah disyariatkan dalan kitabku bahwa aku memang harus mulai belajar menutup auratku.

Komunitasku di MAN 1
Terus terang aku tak siap waktu itu. Aku tak punya kerudung di rumah selain seragam dari sekolah baruku. Meski aku bertekat akan berusaha mau merubah penampilanku, aku lakukan dengan segala kesungguhan niat baikku ini karena amalan ibadah semata. Kucuekin segala sindiran, ejekan dan hujatan yang bertubi-tubi datang dari berbagai penjuru kepadaku. Kuanggap semuanya hanyalah angin lalu, karena hal ini merupakan keputusan sikapku. Dan seperti yang kuduga, mereka pun capai sendiri dan pada akhirnya bisa menerima diriku apa adanya.

Kalau dulu aku punya banyak pita buat menghiasi rambutku, tidak dengan kerudungku. Aku nggak ada waktu untuk pergi ke pasar apalagi ke toko buat membelinya. Aku pun tak punya cukup uang untuk membelinya, apalagi mengkoleksinya sebagaimana pita-pita rambut yang selanjutnya akan pensiun fungsinya.
Hingga pada suatu hari, aku menemukan sebuah spanduk bekas sebuah acara ayahku. Kulihat ada banyak sisa diantara tulisannya yang bisa kupotong dan kumanfaatkan sebagai kerudung. Yah, kain spanduk itu berwarna biru. Bisa kupotong, kujadikan 2 buah kerudung segitiga dan satu potong kecil untuk siput dalam. Tentu saja bahan itu terasa sedikit kaku untuk sebuah kerudung kepalaku. Namun apa boleh buat, diriku sudah cukup senang dengan kerudung pertamaku yang berwarna biru itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog